Perpu Mahkamah Konstitusi
Konstitusional
Beberapa
dekade terakhir ini, banyak pakar hukum mempertanyakan mengenai Perpu Mahkamah Konstitusi,
yang bertujuan untuk mengembalikan tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Yudisal
(KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi, apakah konstitusional
atau tidak?. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 (Perpu MK) yang bertujuan untuk
menegembalikan fungsi, tugas dan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi
hakim-hakim konstitusi, bersifat inkonstitusional karena bertentangan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUUIV/2006 mengenai uji materiil UU No
22/2004 tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi membatalkan sejumlah Pasal
yang terdapat dalam UU No 22/2004, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan
fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan
pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi.
Berdasarkan
stufentheorie (teori tangga), Hans
Kelsen Menegaskan bahwa norma hukum selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, Norma hukum dibawah berlaku, bersumber dan berdasarkan pada
norma tertinggi yaitu norma dasar. Implementasi dari teori ini dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan yaitu asas hukum lex superior derograt legi inferior ( peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tingkatannnya tidak boleh bertentangan dengan peratutan yang
lebih tinggi). Tata urutan peraturan perundang-undangan menempatkan Perpu di bawah Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 setelah Tap MPR. Konstruksi hukumnya logis ketika Perpu bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesuai dengan asas hukum lex
superior derograt legi inferior maka Perpu itu bersifat inkonstitusional, tetapi
permasalahan yang terjadi sekarang adalah apakah benar Perpu bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Pasal berapakah dalam Konstitusi yang
menegaskan Perpu untuk mengembalikan fungsi, tugas dan kewenanagan Komisi
Yudisial (KY) adalah inkonstitusional?
Menurut
saya, ada tiga alasan Perpu Mahkamah Konstitusi bersifat konstitusional
pertama, Perpu Mahkamah Konstitusi yang betujuan untuk mengembalikan tugas,
fungsi dan kewenangan Komisi Yudisial bersifat konstitusional, karena pasal 24C
ayat (1) UUD Tahun 1945 hanya ditegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pertanyaan
apakah ketentuan UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
melakukan uji materi Perpu terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945?.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara terang-terangan, tidak menegaskan hal
tersebut, meskipun dalam tata urutan peraturan perundang-undangan kedudukan Perpu
dan Undang-Undang adalah sejajar tetapi hakikat lahirnya kedua peraturan
perundang-undang tersebut adalah berbeda, serta proses terbentuknya juga
berbeda. Undang-Undang lahir sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, dan untuk
menggantikan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat, serta hasil bentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang
dirancang secara bersama-sama antara DPR bersama presiden (pasal 20 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945), sedangkan Perpu hadir dalam hal ikhwal
kegentingan memaksa yang ditetapkan oleh presiden melalui persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dan pertimbangan Mahkamah Agung, sehinggah antara kedua
peraturan tersebut harus dipisahkan secara tegas meskipun kedudukannya sejajar.
Permasalahan yang terjadi beberapa dekade terakhir ini karena para pakar hukum
yang berpendapat Perpu Mahkamah Konstitusi adalah inkonstitusional, berasumsi
bahwa kedudukan antara Perpu dan Undang-Undang adalah sama, sehinggah hasil uji
materi UU No 22/2004 yang membatalkan
sejumlah Pasal tentang fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam
hal melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi berlaku juga terhadap
Perpu Mahkamah Konstitusi, padahal belum terdapat satu pasalpun dalam ketentuan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang memberikan hak dan kewenangan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu terhadap Undang-Undang Dasar Tahun
1945, sehinggah tafsiran ini keliru karena menambah kewenangan kepada Lembaga
Mahkamah Konstitusi yang secara tegas tidak diatur di dalam konstitusi dan jika
kewenangan menguji Perpu diserahkan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi maka
kewengan itu bersifat inkonstitusional karena bertentangan dengan tugas dan
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Kedua, mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar
1945 juga secara tegas diatur dalam Undang-Undang dasar Tahun 1945 yaitu pasal Pasal
37 ayat (1), (3) dan (4) yang masing-masing bunyinya sebagai berikut :
Ayat (1) Usul
perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh skurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat (4)
putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Implementasi
dari pasal-pasal diatas menegaskan bahwa hanya melalui sidang paripurna Majelis
Permusyawaratan yang dihadiri sekurang-kurangya 2/3 dari jumlah anggota Majleis
Permusyawaratan Rakyat dan mendapat persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh
persen ditambah satu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sajalah yang dapat
merubah atau menggantikan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehinggah, apabila Perpu dikatakan inkonstitusional
karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi No 005/PUUIV/2006
mengenai uji materiil UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial, yang membatalkan
sejumlah Pasal di dalam UU No 22/2004, khususnya pasal-pasal yang berkaitan
dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan
pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi, pertanyaannya, apakah putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945? Apabila putusan tersebut
adalah Undang-Undang Dasar 1945, apakah tujuan pasal 37 Undang-Undang Tahun
1945 tentang mekanisme perubahan Undang-Undang Tahun 1945?
Ketiga,
Perpu Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 24 Tahun 2003 hadir dalam hal
ikhwal kegentingan memaksa, karena Perpu ini berusaha menyelematkan lembaga
Mahkamah Konstitusi dari persepsi buruk publik terhadap Mahkamah Konstitusi
sendiri. Seluruh rakyat indonesia paham bahwa hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai
jawaban atas agenda reformasi yaitu pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
serta mengukuhkan kembali status negara kita sebagai negara hukum, bahkan di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Prubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menempatkan
Mahkamah konstitusi sebagai negarawan, sehinggah untuk menyelamatkan status dan
kedudukan lembaga ini, sudah sepatut dan selayaknya Perpu itu dikeluarkan.
Konteksnya berbeda ketika terjadi korupsi di institusi-institusi penegak hukum
yang lain karena praktek – praktek terlarang sudah sejak lama terjadi dan bukan
merupakan institusi baru sabagai hasil agenda reformasi. Beban terbesar lembaga
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga ini hadir sebagai agenda reformasi untuk
menjawab tuntutan masyrakat karena masyrakat menganggap bahwa intitusi-intitusi
penegak hukum lainnya sangat rentan dengan korupsi. Pernyataan ini bukan
berarti bahwa, saya sepakat dengan kasus-kasus korupsi di intitusi-intitusi-institusi
penegak hukum seperti, kejakasaan dan kepolisian tetapi saya hanya melihat
peluang persepsi buruk publik terhadap lembaga mahkamah konstitusi dengan
intitusi-intitusi penegak hukum yang lain.
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 tidak menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tetapi hanya terbatas pada hak dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk melakukan uji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dan tidak ditegaskan pula mengenai tugas dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji Perpu terhadap undang-Undang Dasar Tahun 1945,
sehinggah Perpu Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan tugas, fungsi dan kewenangan
Komisi Yudisial tetap bersifat konstitusional. Perpu Mahkamah konstitusi juga
hadir dalam hal ikhwal kegentingan memaksa untuk menyelamatkan lembaga MK dari
persepsi buruk publik sebagai konsekuensi agenda reformasi.