Minggu, 27 Oktober 2013

blog jagoan: numpang pendapat

blog jagoan: numpang pendapat: Kapitalisme Kekuasaan Beberapa bulan terakhir ini, media massa, seperti   koran, Televisi dan Radio sangat beramai-ramai membahas meng...

Sabtu, 26 Oktober 2013

numpang pendapat


Kapitalisme Kekuasaan
Beberapa bulan terakhir ini, media massa, seperti  koran, Televisi dan Radio sangat beramai-ramai membahas mengenai kasus suap yang dilakukan oleh adik dari Ratu Atut, pengusa kota Banten terhadap Ketua MK yaitu Akhil Mochtar. Lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang dahulunya terkenal bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, namun sekarang mendapat perhatian sebagaian besar masyarakat indonesia karena praktek-praktek terlarang telah masuk dan menodai kesucian dari lembaga Mahkamah Konsititusi itu sendiri. Negara indonesia sekarang ini memiliki kecendrungan untuk berpikir kapitalistik. Salah satu ciri kapitalistik yang menggoda para pemegang kekuasaan sekarang adalah semangat mencari untung dan seringkali kekuasaan dijadikan sebagai suatu komoditi untuk mendapatkan banyak keuntungan, seperti : korupsi, suap, kolusi dan nepotisme telah menjadi suatu kebisaan komoditi yang diperoleh dengan mudah dan keuntungan yang sangat banyak. Kekuasaan yang cendrung kapitalis telah menguasai setiap aspek penyelenggaraan negara, bahkan karena semangat inilah segala cara dapat dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan, tak peduli moral dan etika, yang terpenting adalah “keuntungan yang diperoleh” .  ada apa denganmu “kekuasaan”? mengapa engkau hadir hanya untuk menyiksa rakyat? Apakah kamu mempunyai akhlak dan hati nurani?
 Negara ini katanya,” negara hukum”, tetapi banyak aturan hukum hanyalah alat politik,  alat kekuasaan untuk mendusta kepecayaan yang diberikan oleh rakyat, anehnya yang melakukan pelanggaran hukum adalah orang-orang yang paham hukum dan memiliki kedudukan terhormat. Negara ini seharusnya dijadikan negara bisnis, bukan negara hukum, karena setiap para penyelenggara negara sangat pandai menghitung untung dan rugi secara individu apabila suatu kebijakan atau putusan dikeluarkan. Kapitalisme kekusaan di negara ini telah melampui batas keadilan, hukum dan moral, sehinggah sulit untuk dihindari oleh para pemegang kekuasaan, bahkan  merupakan penyakit yang telah menggerogoti bangsa ini semenjak dia lahir. Kepentingan diri, golongan, partai dan kerabat dekat lebih diutamakan, gengsi akan kedudukan dan kehormatan diperjuangkan, oleh karenanya segala cara dilakukan untuk mengembalikan kedudukan dan kehormatan itu dilakukan, meskipun banyak diantaranya diperoleh dengan  cara yang tak patut untuk dijadikan teladan bagi kita semua. Kita tidak dapat memungkiri bahwa antara kekuasaan dan kehidupan bisnis sangat berdampingan, bahkan banyak realita di masyarakat yang mempertontonkan besarnya dukungan finansial untuk memperoleh kekuasaan.
Kecendrungan berpikir kapitalis menjadikan para pemegang kekuasan menjadi budak kekuasaan, buta melihat penderitaan rakyat, moral dan keadilan diabaikan, tetapi keuntungan yang diharapkan untuk diri sendiri, golongan dan keluarga selalu diperjuangkan. Negara ini katanya “kaya raya”, tetapi ironisnya hanya segelintir orang saja yang menikmati hasil kekayaannya. Sungguh miris rasanya ketika mencermati berbagai macam berita melalui media massa, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial dan pengangguran menguasai republik yang kaya ini. Dusta dan penipuan merupakan suatu konsep yang diinginkan oleh kekuasaan yang kapitalis, segala cara adalah halal, meskipun bertentangan dengan hati nurani yang terpenting adalah “keuntungan”.
Menurut saya, reformasi hukum melalui perubahan kebijakan dan perubahan hukum merupakan suatu wacana yang tepat untuk meminimalisir kekuasaan yang kapitalis, karena kecendrungan individu penyelenggara negara dalam suatu institusi berpikir kapitalistik disebabkan oleh luasnya cakupan kewenangan suatu institusi yang dipercayakan kepada setiap individu-individunya. Salah satu contohnya adalah kewenangan yang sangat besar pada lembaga Mahkamah Konstitusi yaitu melakukan Judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa dibatasi termasuk melakukan Judicial Review yang mengatur mengenai lembaganya sendiri, padahal kalau kita kaitkan dengan dalil hukum “tidak ada satupun dapat menjadi hakim yang baik untuk perkaranya sendiri” adalah tidak tepat apabila kewenangan untuk melakukan judicial review menyangkut kewenangannya, diserahkan lagi pada lembaga Mahkamah Konstitusi, sehinggah tidak heran munculnya peraturan perundang-undangan yang bermaksud untuk mengawasi lembaga Mahkamah konstitusi ditolak oleh lembaga Mahkamah Konstitusi.  Kewenangan yang sangat besar ini menjadi suatu bumerang bagi kita, karena terbentur oleh UUD Tahun 1945 yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada lembaga Mahkamah Konstitusi, sehinggah kita seolah-olah tidak berdaya ketika ada suatu aturan yang bertujuan untuk memulihkan lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri, misalnya Perpu yang bertujuan untuk menegembalikan fungsi dan tugas Komisi Yudisial untuk mengawasi Mahkamhah Konstitusi, tetapi Perpu ini menjadi inkonstitusional apabila dikeluarkan karena bertentangan dengan putusan MK No 005/PUUIV/2006 mengenai uji materiil UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial, MK membatalkan sejumlah Pasal yang terdapat dalam UU No 22/2004, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Jadi, reformasi hukum melalui perubahan kebijakan dan perubahan hukum haruslah dilakukan dengan cara membatasi kewenangan yang sangat besar pada setiap institusi penyelenggara negara, sehinggah kecendrungan kapitalisme kekuasaan dapat diminimalisir dan peluang untuk mengawasi setiap institusi penyelenggara negara lebih mudah.