Kapitalisme Kekuasaan
Beberapa
bulan terakhir ini, media massa, seperti
koran, Televisi dan Radio sangat beramai-ramai membahas mengenai kasus
suap yang dilakukan oleh adik dari Ratu Atut, pengusa kota Banten terhadap
Ketua MK yaitu Akhil Mochtar. Lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
yang dahulunya terkenal bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, namun
sekarang mendapat perhatian sebagaian besar masyarakat indonesia karena
praktek-praktek terlarang telah masuk dan menodai kesucian dari lembaga
Mahkamah Konsititusi itu sendiri. Negara indonesia sekarang ini memiliki
kecendrungan untuk berpikir kapitalistik. Salah satu ciri kapitalistik yang
menggoda para pemegang kekuasaan sekarang adalah semangat mencari untung dan
seringkali kekuasaan dijadikan sebagai suatu komoditi untuk mendapatkan banyak
keuntungan, seperti : korupsi, suap, kolusi dan nepotisme telah menjadi suatu
kebisaan komoditi yang diperoleh dengan mudah dan keuntungan yang sangat
banyak. Kekuasaan yang cendrung kapitalis telah menguasai setiap aspek
penyelenggaraan negara, bahkan karena semangat inilah segala cara dapat
dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan, tak peduli moral dan etika, yang
terpenting adalah “keuntungan yang diperoleh” .
ada apa denganmu “kekuasaan”? mengapa engkau hadir hanya untuk menyiksa
rakyat? Apakah kamu mempunyai akhlak dan hati nurani?
Negara ini katanya,” negara hukum”, tetapi banyak
aturan hukum hanyalah alat politik, alat
kekuasaan untuk mendusta kepecayaan yang diberikan oleh rakyat, anehnya yang
melakukan pelanggaran hukum adalah orang-orang yang paham hukum dan memiliki
kedudukan terhormat. Negara ini seharusnya dijadikan negara bisnis, bukan
negara hukum, karena setiap para penyelenggara negara sangat pandai menghitung
untung dan rugi secara individu apabila suatu kebijakan atau putusan
dikeluarkan. Kapitalisme kekusaan di negara ini telah melampui batas keadilan,
hukum dan moral, sehinggah sulit untuk dihindari oleh para pemegang kekuasaan,
bahkan merupakan penyakit yang telah
menggerogoti bangsa ini semenjak dia lahir. Kepentingan diri, golongan, partai
dan kerabat dekat lebih diutamakan, gengsi akan kedudukan dan kehormatan
diperjuangkan, oleh karenanya segala cara dilakukan untuk mengembalikan
kedudukan dan kehormatan itu dilakukan, meskipun banyak diantaranya diperoleh
dengan cara yang tak patut untuk
dijadikan teladan bagi kita semua. Kita tidak dapat memungkiri bahwa antara
kekuasaan dan kehidupan bisnis sangat berdampingan, bahkan banyak realita di
masyarakat yang mempertontonkan besarnya dukungan finansial untuk memperoleh
kekuasaan.
Kecendrungan
berpikir kapitalis menjadikan para pemegang kekuasan menjadi budak kekuasaan,
buta melihat penderitaan rakyat, moral dan keadilan diabaikan, tetapi
keuntungan yang diharapkan untuk diri sendiri, golongan dan keluarga selalu
diperjuangkan. Negara ini katanya “kaya raya”, tetapi ironisnya hanya
segelintir orang saja yang menikmati hasil kekayaannya. Sungguh miris rasanya
ketika mencermati berbagai macam berita melalui media massa, seperti
kemiskinan, kesenjangan sosial dan pengangguran menguasai republik yang kaya
ini. Dusta dan penipuan merupakan suatu konsep yang diinginkan oleh kekuasaan
yang kapitalis, segala cara adalah halal, meskipun bertentangan dengan hati
nurani yang terpenting adalah “keuntungan”.
Menurut
saya, reformasi hukum melalui perubahan kebijakan dan perubahan hukum merupakan
suatu wacana yang tepat untuk meminimalisir kekuasaan yang kapitalis, karena
kecendrungan individu penyelenggara negara dalam suatu institusi berpikir
kapitalistik disebabkan oleh luasnya cakupan kewenangan suatu institusi yang
dipercayakan kepada setiap individu-individunya. Salah satu contohnya adalah
kewenangan yang sangat besar pada lembaga Mahkamah Konstitusi yaitu melakukan Judicial review undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa dibatasi termasuk
melakukan Judicial Review yang mengatur
mengenai lembaganya sendiri, padahal kalau kita kaitkan dengan dalil hukum
“tidak ada satupun dapat menjadi hakim yang baik untuk perkaranya sendiri”
adalah tidak tepat apabila kewenangan untuk melakukan judicial review menyangkut kewenangannya, diserahkan lagi pada
lembaga Mahkamah Konstitusi, sehinggah tidak heran munculnya peraturan
perundang-undangan yang bermaksud untuk mengawasi lembaga Mahkamah konstitusi
ditolak oleh lembaga Mahkamah Konstitusi. Kewenangan yang sangat besar ini menjadi suatu
bumerang bagi kita, karena terbentur oleh UUD Tahun 1945 yang memberikan
kewenangan yang sangat besar kepada lembaga Mahkamah Konstitusi, sehinggah kita
seolah-olah tidak berdaya ketika ada suatu aturan yang bertujuan untuk
memulihkan lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri, misalnya Perpu yang
bertujuan untuk menegembalikan fungsi dan tugas Komisi Yudisial untuk mengawasi
Mahkamhah Konstitusi, tetapi Perpu ini menjadi inkonstitusional apabila
dikeluarkan karena bertentangan dengan putusan MK No 005/PUUIV/2006 mengenai
uji materiil UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial, MK membatalkan sejumlah
Pasal yang terdapat dalam UU No 22/2004, khususnya pasal-pasal yang berkaitan
dengan fungsi, tugas, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal melakukan
pengawasan terhadap hakim karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Jadi,
reformasi hukum melalui perubahan kebijakan dan perubahan hukum haruslah
dilakukan dengan cara membatasi kewenangan yang sangat besar pada setiap
institusi penyelenggara negara, sehinggah kecendrungan kapitalisme kekuasaan
dapat diminimalisir dan peluang untuk mengawasi setiap institusi penyelenggara
negara lebih mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar